Alasan Thailand-Kamboja Kembali Perang di Perbatasan. Konflik perbatasan Thailand-Kamboja yang sempat mereda kini kembali memanas, dengan bentrokan bersenjata yang pecah pada awal Desember 2025. Insiden ini, yang menewaskan setidaknya 13 orang dan memaksa lebih dari 500.000 warga mengungsi, jadi episode paling intens sejak perang lima hari di Juli lalu. Api perang kembali menyala setelah Thailand tuduh Kamboja pasang ranjau baru yang melukai prajuritnya, memicu serangan udara dan artileri di sepanjang garis batas 800 kilometer yang belum sepenuhnya dipetakan. Meski ada kesepakatan gencatan senjata yang difasilitasi Presiden AS Donald Trump di Kuala Lumpur pada Oktober, tuduhan saling serang dari kedua pihak bikin situasi rapuh. Di baliknya, akar masalah tetap sama: sengketa wilayah kolonial dan kuil kuno seperti Preah Vihear, ditambah dinamika politik internal yang memanfaatkan nasionalisme. ASEAN, di bawah ketuaan Malaysia, buru-buru mediasi, tapi pertanyaan besar: apakah ini cuma percikan atau awal perang penuh? BERITA BOLA
Akar Historis Sengketa Perbatasan: Alasan Thailand-Kamboja Kembali Perang di Perbatasan
Konflik ini bukan hal baru; akarnya tertanam sejak 1907, saat Prancis—penjajah Kamboja—petakan batas dengan Siam (sekarang Thailand) tanpa konsultasi penuh. Peta itu, yang Thailand tolak, jadi sumber perselisihan atas 500 mil perbatasan tak jelas, terutama di sekitar empat kuil kuno di dataran tinggi Dangrek. Kuil Preah Vihear, yang UNESCO daftarkan milik Kamboja pada 2008, jadi titik panas utama—Thailand klaim wilayah sekitar 4,6 kilometer persegi sebagai miliknya, picu bentrokan sporadis sejak 2008-2011 yang tewaskan puluhan. Di 2025, sengketa ini bangkit lagi saat skirmish Mei bunuh satu prajurit Kamboja, diikuti larangan barang Thailand oleh Phnom Penh dan penutupan perbatasan Bangkok. Sejarah kolonial ini, yang Thailand anggap “pembagian tak adil”, bikin kedua negara sensitif—setiap insiden kecil bisa eskalasi jadi narasi nasionalisme, terutama saat pemilu atau pergantian kekuasaan.
Pemicu Eskalasi Juli dan Gencatan Senjata: Alasan Thailand-Kamboja Kembali Perang di Perbatasan
Eskalasi Juli 2025 jadi puncak ketegangan, saat bentrokan dekat Preah Vihear tewaskan 38 orang—kebanyakan sipil—dan usir 300.000 warga. Thailand tuduh pasukan Kamboja serang pos militer, balas dengan artileri berat dan bom cluster, sementara Kamboja klaim Thailand yang provokasi. Perang lima hari itu libatkan F-16 Thailand dan rudal PHL-03 Kamboja, hancurkan infrastruktur di kedua sisi. Trump, yang anggap mediasi ini kemenangan diplomatik, fasilitasi gencatan di Kuala Lumpur dengan bantu Malaysia—tandatangan 26 Oktober libatkan PM Thailand Anutin Charnvirakul dan PM Kamboja Hun Manet. Kesepakatan itu janji tarik pasukan dan mediasi ICJ, tapi rapuh: Thailand tolak mediasi AS atau China, pilih bilateral, sementara Kamboja tuduh Bangkok langgar dengan serangan Juli yang hantam sekolah dan rumah sakit.
Penyebab Kembali Memanas di Desember
Kembali perang di Desember dipicu ledakan ranjau 7 Desember yang lukai prajurit Thailand—Bangkok tuduh Kamboja pasang ranjau baru, langgar kesepakatan Oktober, sementara Phnom Penh bilang itu ranjau lama dari era 2011. Bentrokan pagi 8 Desember di Sisaket dan Ubon Ratchathani tewaskan tiga prajurit Thailand dan tujuh sipil Kamboja, diikuti serangan udara Thailand ke tujuh posisi militer Kamboja. Kamboja balas tuduh Thailand serang fajar, tapi klaim tak langsung balas—meski lapor 20 luka sipil. Faktor lain: politik internal. Di Thailand, Perdana Menteri sementara Phumtham Wechayachai khawatir eskalasi jadi perang penuh, sementara di Kamboja, Hun Sen—senat presiden—sarankan serangan balik, picu nasionalisme. Krisis cyber-scam di perbatasan tambah tekanan, dengan kedua negara saling tuduh lindungi penjahat online. Evakuasi 500.000 warga di delapan distrik Thailand dan pagoda Kamboja tunjukkan dampak sipil parah.
Kesimpulan
Alasan Thailand-Kamboja kembali perang di perbatasan adalah campuran sengketa historis kolonial, pemicu ranjau Desember, dan politik nasionalis yang langgar gencatan Trump. Dari akar 1907 hingga eskalasi Juli yang tewaskan puluhan, konflik ini bukti betapa rapuhnya batas ASEAN di era perubahan iklim dan cyber-threat. Mediasi Malaysia dan UNSC krusial, tapi tanpa komitmen bilateral, siklus kekerasan bisa ulang. Bagi warga perbatasan yang kini mengungsi, ini bukan cuma soal tanah, tapi nyawa—harapannya dialog gantikan senjata, agar perdamaian Oktober tak sia-sia. Thailand dan Kamboja punya sejarah damai; saatnya kembali ke sana.