Rivalitas Arab Saudi dan UEA Sedang Memanas. Rivalitas Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) memanas lagi setelah bentrokan proxy di Hadramaut, Yaman, pada 4 Desember 2025, di mana pasukan didukung UEA kuasai kota strategis Seiyun, markas pemerintah Saudi-backed. Insiden ini, yang libatkan serangan ke istana presiden Yaman, picu tudingan saling lempar dari Riyadh dan Abu Dhabi—Saudi sebut UEA langgar kesepakatan koalisi, sementara UEA klaim lindungi kepentingan ekonomi. Ketegangan ini lanjutan persaingan lama sejak 2021, dari OPEC hingga pengaruh regional di Sudan dan Yaman, di mana kedua kekuatan Teluk saling saingi dominasi. Meski kerjasama OPEC stabilkan minyak, rivalitas ini ancam stabilitas GCC, terutama saat Saudi Crown Prince Mohammed bin Salman (MBS) lobi Trump soal peran UEA di pembantaian Sudan. Di tengah diversifikasi ekonomi Vision 2030 Saudi vs Dubai hub global, panas ini bisa ubah dinamika Arab. INFO SLOT
Persaingan Proxy di Yaman dan Sudan: Rivalitas Arab Saudi dan UEA Sedang Memanas
Di Yaman, rivalitas memuncak saat pasukan Southern Transitional Council (STC)—proxy UEA—serbu Seiyun, kota minyak di Hadramaut, 4 Desember 2025. STC, yang incar sekulerisme selatan Yaman, kuasai istana presiden dan checkpoint, langgar kesepakatan Riyadh 2022 yang bagi pengaruh. Saudi dukung pemerintah Hadi untuk stabilkan perbatasan, tapi UEA prioritaskan pelabuhan seperti Aden untuk rute perdagangan—mereka tarik pasukan 2019 tapi tinggalkan proxy. Analis sebut ini “rivalitas baru” di timur Yaman, di mana kepentingan bertiga: pemerintah Saudi-backed, Houthi Iran, dan STC UEA. Di Sudan, panas serupa: Saudi dukung Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) untuk stabilitas Merah Merah, sementara UEA dituding suplai senjata ke Rapid Support Forces (RSF) via Chad, picu pembantaian di Darfur. MBS lobi Trump November 2025 soal peran UEA, tunjukkan celah di koalisi Teluk—rivalitas ini perpanjang perang Sudan, tewaskan ribuan sejak April 2023.
Konflik Ekonomi: OPEC dan Diversifikasi: Rivalitas Arab Saudi dan UEA Sedang Memanas
Ekonomi jadi medan utama rivalitas. Di OPEC 2021, UEA tolak kuota produksi Saudi, tuntut naikkan baseline dari 3,2 juta ke 4 juta barel per hari—konflik singkat tapi sengit, picu kenaikan harga minyak 5 persen. Sejak itu, kerjasama stabil: keduanya potong produksi 2023 untuk harga 80 dolar per barel, tapi saingan tetap. Saudi dorong Neom sebagai kota masa depan, tapi UEA unggul sebagai hub bisnis—FDI UEA 30 miliar dolar 2023 vs Saudi 25 miliar, meski Riyadh naik 16 persen. Dubai jadi pusat IPO dan cricket global, sementara Riyadh saingi dengan tawaran insentif. Rivalitas ini tak pecah GCC—mereka normalisasi dengan Assad 2023—tapi ubah dinamika: UEA chart kurs sendiri di anti-Islamisme dan ekonomi, Saudi fokus stabilkan tetangga lawan Iran. Analis bilang, “Kerjasama lebih berat dari rivalitas di energi, tapi celah dalam.”
Pengaruh Regional dan Global
Rivalitas ini bentang luas: di Suriah, keduanya normalisasi dengan Assad 2023, tapi UEA lebih cepat rapprochement. Di Afrika, UEA saingi pengaruh Saudi via proxy di Sudan dan Yaman—UEA prioritaskan anti-Islamisme dan sumber daya, Saudi stabilkan perbatasan. Trump era kedua tambah dinamika: MBS lobi soal UEA di Sudan, sementara Abu Dhabi dekati AS via investasi. Di Israel, UEA normalisasi 2020, Saudi ragu—tapi keduanya lawan Iran. Pengaruh global: saingan IPO UEA vs Saudi tekan harga minyak, untungkan konsumen tapi ancam OPEC unity. GCC tetap solid, tapi rivalitas ini “powder keg” di Horn Afrika, perpanjang konflik proxy.
Kesimpulan
Rivalitas Arab Saudi-UEA memanas di Hadramaut jadi ujian koalisi Teluk, di mana proxy Yaman dan Sudan tunjukkan celah agenda—dari OPEC hingga hub bisnis. Meski kerjasama energi stabil, persaingan pengaruh regional ancam GCC, terutama saat MBS lobi Trump. Kedua kekuatan punya kepentingan damai: diversifikasi ekonomi butuh stabilitas. Tanpa dialog, rivalitas ini perpanjang perang proxy—waktunya Riyadh dan Abu Dhabi pilih kerjasama daripada saingan, demi Teluk yang kuat.