Penurunan Emisi Global Pertama Kali Turun di Dunia. Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 Oktober 2025 membawa kabar menggembirakan sekaligus peringatan: emisi gas rumah kaca global diproyeksikan turun 10 persen pada 2035 dibandingkan level 1990, tanda pertama penurunan signifikan sejak kesepakatan Paris 2015. Ini berarti puncak emisi dunia mungkin sudah lewat, dengan penurunan dimulai dalam beberapa tahun ke depan, berkat rencana iklim baru dari 64 negara. Tapi, laporan Sintesis UNFCCC itu juga tegas: penurunan ini masih jauh dari target 45-60 persen yang dibutuhkan untuk batasi pemanasan di bawah 1,5 derajat Celsius. “Kita lihat cahaya di ujung terowongan, tapi jalan masih panjang dan berliku,” kata Sekjen UNFCCC Patricia Espinosa. Di tengah COP30 yang akan digelar di Brasil bulan depan, temuan ini jadi momentum: dunia akhirnya bergerak ke arah benar, meski lambat, di saat cuaca ekstrem seperti banjir di Eropa dan kekeringan di Afrika makin sering. BERITA TERKINI
Penyebab Penurunan: Transisi Energi dan Kebijakan Baru: Penurunan Emisi Global Pertama Kali Turun di Dunia
Penurunan emisi ini lahir dari kombinasi faktor yang saling terkait, terutama percepatan transisi energi terbarukan di negara-negara maju dan berkembang. Laporan UNFCCC sebut emisi dari sektor energi turun 2,5 persen pada 2024, didorong oleh penurunan penggunaan batu bara di AS dan Eropa sebesar 5,7 persen, serta peningkatan kapasitas surya dan angin global 15 persen tahun ini. China, penyumbang emisi terbesar, janji capai puncak emisi 2025 lebih awal, dengan tambahan 200 gigawatt energi surya baru—setara kebutuhan listrik 100 juta rumah tangga.
Kebijakan nasional jadi pendorong utama: 64 negara, termasuk India dan Brasil, update Nationally Determined Contributions (NDC) mereka, perkuat komitmen Paris Agreement. Di Eropa, EU Green Deal potong emisi 11 persen sejak 2020 lewat pajak karbon dan subsidi EV. Di AS, Inflation Reduction Act 2022 tambah US$ 370 miliar untuk energi bersih, hasilnya emisi turun 1,1 persen tahun lalu. Transisi ini tak lepas dari inovasi: baterai lithium-ion murah 30 persen sejak 2023 bikin penyimpanan angin-surya lebih efisien, kurangi ketergantungan fosil. Tapi, penurunan ini relatif kecil—masih 2,5 miliar ton CO2 setara emisi tahunan, jauh dari nol bersih 2050 yang dijanjikan.
Tantangan yang Masih Menghadang: Ketergantungan Fosil dan Ketidakadilan: Penurunan Emisi Global Pertama Kali Turun di Dunia
Meski ada kemajuan, tantangan besar tetap menghalangi penurunan lebih dalam. Laporan UNFCCC soroti ketergantungan fosil: 80 persen emisi masih dari batu bara, minyak, dan gas, dengan negara berkembang seperti India dan Afrika Selatan kesulitan transisi karena butuh energi murah untuk pertumbuhan. Emisi dari deforestasi naik 5 persen tahun ini, terutama di Amazon Brasil, tandai kegagalan kebijakan anti-pembakaran. Ketidakadilan iklim jadi isu krusial: negara miskin seperti Bangladesh, yang emisi hanya 0,5 persen global, hadapi banjir akibat pemanasan dari negara kaya.
Relatif dengan target Paris, penurunan 10 persen ini hanya sepertiga dari yang dibutuhkan—pemanasan bisa capai 2,5-3 derajat Celsius jika tren berlanjut, picu krisis pangan dan migrasi massal 200 juta orang. COP30 di Brasil bulan depan jadi ujian: negara maju janji US$ 100 miliar tahunan untuk bantu transisi, tapi baru realisasi 60 persen. Tantangan lain: lobi industri fosil kuat, seperti di AS di mana subsidi minyak capai US$ 20 miliar tahun ini. Untuk atasi, laporan sarankan pajak karbon global dan transfer teknologi, agar penurunan emisi jadi adil, bukan beban negara miskin.
Langkah ke Depan: Harapan dari COP30 dan Inovasi
Meski tantangan berat, ada harapan konkret menjelang COP30. Laporan UNFCCC sebut emisi bisa turun 25 persen pada 2030 jika NDC diperkuat, dengan fokus hidrogen hijau dan CCUS (carbon capture). Inovasi seperti baterai solid-state dari Korea Selatan potong biaya penyimpanan 40 persen, percepat transisi. Di Asia Tenggara, ASEAN rencanakan target 23 persen energi terbarukan 2025, dengan Indonesia pimpin geothermal 10 gigawatt baru.
COP30 di Belem, Brasil, jadi platform: negara maju harus komitmen finansial, sementara berkembang tuntut akses teknologi. Harapan lain: kesepakatan perdagangan karbon global yang dorong investasi US$ 2 triliun tahunan. Penurunan emisi pertama ini langkah awal—bukan akhir—menuju dunia lebih hijau. Dengan momentum Paris, dunia punya kesempatan: iklim bukan musuh tak terlihat, tapi tantangan yang bisa diatasi bersama.
Kesimpulan
Penurunan emisi global pertama kali sejak Paris Agreement jadi berita baik yang dinanti, tapi laporan UNFCCC 2025 tegas: 10 persen pada 2035 masih kurang untuk selamatkan 1,5 derajat Celsius. Dari transisi energi yang vital hingga tantangan ketidakadilan, ini panggilan aksi jelas untuk COP30. Negara maju harus pimpin dengan finansial dan teknologi, sementara berkembang tegas tuntut keadilan. Di saat cuaca ekstrem makin sering, penurunan ini ingatkan: waktu tak tunggu, tapi kita punya alat untuk bertindak. Dunia, ambil langkah selanjutnya—karena iklim tak peduli batas negara, tapi peduli kolektif kita.