Trump Mengancam Israel Jika Mereka Mencaplok Tepi Barat. Dalam pidato terbarunya di Gedung Putih pada 23 Oktober 2025, Presiden Donald Trump mengeluarkan peringatan tegas kepada Israel: jangan sentuh Tepi Barat. “Saya tidak akan izinkan Israel mencaplok Tepi Barat,” katanya dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk ragu. Ancaman ini muncul tepat setelah parlemen Israel, Knesset, menyetujui secara awal dua rancangan undang-undang yang membuka pintu bagi perluasan kedaulatan atas wilayah tersebut. Langkah simbolis itu langsung memicu gelombang kecaman dari Washington, di mana Wakil Presiden JD Vance menyebutnya sebagai “stunt politik bodoh” yang menyinggung secara pribadi. Situasi ini menandai pergeseran langka dalam dinamika hubungan AS-Israel, di mana dukungan tak terbatas mulai digantikan oleh garis merah jelas. Dengan gencatan senjata Gaza yang rapuh baru berusia dua minggu, ancaman Trump bukan sekadar kata-kata—ia bisa mengguncang fondasi aliansi lama, memaksa Netanyahu memilih antara tekanan dalam negeri dan sekutu terdekatnya. BERITA BASKET
Tekanan Internal di Israel yang Memanas: Trump Mengancam Israel Jika Mereka Mencaplok Tepi Barat
Di balik layar Knesset, tekanan dari sayap kanan ekstrem semakin kuat. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang koalisinya bergantung pada dukungan politisi seperti Bezalel Smotrich—penduduk pemukiman ilegal di Tepi Barat—kini terjepit. Smotrich, yang juga menjabat di kementerian pertahanan dengan wewenang atas pemukiman, telah mendorong aneksasi sebagai respons terhadap pengakuan negara Palestina oleh sekutu Barat seperti Inggris, Kanada, dan Prancis. Rancangan undang-undang yang lolos suara awal pada 22 Oktober menargetkan penerapan hukum Israel di wilayah-wilayah kunci, termasuk Area C yang dikuasai penuh oleh militer Israel. Meski masih butuh tiga putaran suara lagi untuk jadi undang-undang, langkah ini sudah memicu demo di Yerusalem dan Hebron, di mana warga Palestina khawatir kehilangan lahan pertanian dan akses air.
Netanyahu sempat mempertimbangkan aneksasi parsial sebagai balasan atas pengakuan internasional tersebut, tapi ancaman Trump membuatnya ragu. Pada 24 Oktober, ia memerintahkan fraksinya menahan pengajuan undang-undang lanjutan hingga pemberitahuan lebih lanjut. Ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi Netanyahu: koalisinya bisa runtuh jika sayap kanan mundur, tapi kehilangan dukungan AS berarti bencana ekonomi dan militer. Dengan 700.000 pemukim Israel di antara 2,7 juta warga Palestina, aneksasi berisiko memicu kekerasan massal, seperti yang terlihat dalam bentrokan terbaru di Tubas yang menewaskan beberapa warga sipil. Tekanan ini bukan hanya politik; ia mencerminkan ketegangan sosial di Israel, di mana mayoritas rakyat lelah perang tapi sayap kanan melihat Tepi Barat sebagai hak historis.
Janji Trump kepada Pemimpin Arab yang Mengikat: Trump Mengancam Israel Jika Mereka Mencaplok Tepi Barat
Trump tak main-main soal komitmennya. Pada pertemuan sela-sela Sidang Umum PBB akhir September, ia berjanji kepada pemimpin Arab dan Muslim—termasuk Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan—bahwa AS akan blokir segala upaya aneksasi. “Saya beri kata pada mereka, dan saya tepati,” tegas Trump dalam wawancara baru-baru ini. Janji ini bagian dari rencana putih yang disodorkan timnya, termasuk detail tata kelola Gaza pasca-perang dan jaminan keamanan regional. Tanpa itu, kesepakatan Abraham Accords—warisan kebanggaan Trump dari masa jabatan pertama—bisa ambruk. Uni Emirat Arab sudah memperingatkan bahwa aneksasi akan hancurkan normalisasi dengan Israel, sementara Qatar dan Mesir khawatir gencatan senjata Gaza jadi korban.
Peringatan ini juga didukung surat dari 40 senator Demokrat, dipimpin Adam Schiff, yang mendesak Trump perkuat oposisi terhadap aneksasi untuk jaga solusi dua negara. Trump, yang dulu pro-pemukiman, kini melihat aneksasi sebagai ancaman bagi citra diplomatiknya. Ia khawatir akan “neraka” baru jika Hamas tolak kesepakatan, tapi lebih dari itu, ia tak mau kehilangan dukungan Arab untuk perluas Accords. Situasi ini ironis: Trump, yang pernah pindahkan kedutaan ke Yerusalem, kini jadi penjaga status quo Tepi Barat, setidaknya untuk saat ini.
Dampak Potensial terhadap Stabilitas Regional
Jika aneksasi maju, konsekuensinya bisa meledak-ledak. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang tiba di Israel pada 23 Oktober, memperingatkan bahwa langkah itu “ancam kesepakatan damai” Gaza dan stabilitas lebih luas. Dengan gencatan senjata yang sudah terganggu serangan sporadis—seperti tembakan Hamas ke tentara Israel—aneeksasi bisa picu eskalasi, termasuk boikot dari negara-negara Teluk yang kini jadi mitra dagang utama Israel. Ekonomi Israel, yang bergantung pada bantuan militer AS senilai miliaran dolar, akan terpukul keras; Trump ancam potong “semua dukungan” jika Netanyahu maju.
Di Tepi Barat sendiri, dampaknya langsung: peningkatan kekerasan pemukim sudah naik 50 persen sejak pengakuan Palestina, dengan laporan serangan terhadap petani zaitun di Hebron. Warga Palestina, yang melihat aneksasi sebagai akhir mimpi negara sendiri, mungkin beralih ke perlawanan bersenjata, memperburuk siklus kekerasan. Secara regional, Yordania—yang berbatasan langsung—khawatir banjir pengungsi, sementara Iran bisa manfaatkan kekacauan untuk dorong proksi. Ancaman Trump, meski tegas, juga uji kredibilitas AS: jika tak ditegakkan, ia bisa lemahkan posisi Washington di Timur Tengah, di mana China dan Rusia siap isi kekosongan.
Kesimpulan
Ancaman Trump terhadap Israel soal Tepi Barat adalah titik balik yang tak terduga, mengubah narasi dukungan buta jadi diplomasi berbasis syarat. Dengan Netanyahu tahan undang-undang dan Rubio dorong dialog di Yerusalem, ada harapan rapuh bahwa eskalasi bisa dihindari. Tapi ini juga pengingat: perdamaian Timur Tengah tak bisa dibangun di atas janji kosong atau ambisi sepihak. Trump punya leverage besar—sekarang saatnya gunakan untuk dorong solusi dua negara yang layak, bukan sekadar jaga status quo. Jika berhasil, ini bisa jadi legasi baru; jika gagal, wilayah itu kembali ke jurang yang lebih dalam. Waktu menunggu bukti, tapi satu hal pasti: kata-kata Trump kali ini punya bobot yang tak bisa diabaikan.